Kasus penganiayaan menimpa seorang wanita muda berinisial MS (23) terjadi pada Minggu (9/5/2021). Korban yang diketahui sebagai aktivis perempuan pembela HAM sekaligus mahasiswi di Jombang, Jawa Timur. Sebelumnya informasi terkait penganiayaan terhadap aktivis perempuan di Jombang ini banyak beredar di group WhatsApp.
Informasi dalam grup WA itu tertera dengan format bertuliskan: Darurat!! Segerombolan orang melakukan penganiayaan terhadap perempuan pembela Ham di Jombang dan mengintimidasi keluarga Direktur Women's Crisis Center (WCC) Jombang, Ana Abdillah (26) membenarkan pesan darurat yang telah beredar luas di grup WhatsApp tersebut.
Korban Rani alias MS (23) dianaya oleh gerombolan pria saat menghadiri Khataman Qur'an di kampungnya, Desa Pandanblole, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pelaku bahkan secara kejam melakukan penganiayaan dengan membenturkan kepala korban ke tembok. Selain itu, pelaku juga merampas handphone merek Vivo berisi data pribadi milik korban.
Dia mewakili korban menyampaikan terkait kronologi penganiayaan kekerasan fisik hingga mengakibatkan korban trauma. "Saya mewakili korban karena saat ini kondisinya masih trauma apalagi dia dalam perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sehingga saya menyampaikan pada kawan kawan media dia tidak bisa di wawancara," ungkapnya saat ditemui di Kantor WCC, Jl Pattimura, Jabon, Kabupaten Jombang. Ana menceritakan sesuai pengakuan korban, saat itu korban diundang menghadiri Khataman Qur'an di Desa Pandanblole, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, pada Minggu (9/5/2021).
Kemudian, ada enam orang laki laki turun dari mobil. Seorang pelaku tiba tiba menghampiri korban dan membenturkan kepalanya ke tembok. "Ada satu orang lagi mengambil Handphone Vivo milik korban, dirampas (Pelaku, Red) gak ngomong apa apa. Korban sempat diancam kamu tidak akan selamat," jelasnya.
Menurut dia, sebenarnya intimidasi terhadap korban dan keluarganya berupa ancaman serta upaya mencari keberadaannya itu sudah lama terjadi sejak kasus seksual dengan tersangka putera dari kyai pemilik pondok di Ploso. "Dia itu pastinya ketakutan tidak berani pulang ke rumah sehingga dia sekarang posisinya diamankan di salah satu tempat yang juga rekomendasi dari LPSK," bebernya. Kasus penganiayaan ini telah resmi dilaporkan dengan terbitnya Surat Tanda Bukti Laporan Nomor TBL B/15/III/RES.1.6./2021/RESKRIM/Jombang/SPKT/Polsek Ploso pada 9 Mei 2021.
Korban melakukan visum untuk melengkapi berkas laporan. Setelah itu, korban kembali didatangi oleh segerombolan orang yang melakukan upaya intimidasi terhadap keluarga korban. Kedatangan sekelompok orang itu motif dan tujuannya tidak jelas.
"Jadi sebenarnya ini, juga bisa dibilang karena asumsi dari kawan kawan kami menduga berkaitan kasus dampak dari proses hukum M.Subchi yang tidak segera naik prosesnya," ucap Ana. Kasus kekerasan seksual yang menyeret nama salah satu putera kyai di Jombang, Pondok Ploso dan korbannya adalah santriwati. Teridentifikasi ada lima korban yang berani melaporkan, sejak 29 Oktober 2019 di Polres Jombang dan diambil alih oleh Polda Jatim pada awal tahun 2020.
Korban penganiayaan Rani alias MS (23) merupakan mantan santriwati yang dikeluarkan dari Pondok Ploso setelah terbongkarnya kasus kejahatan asusila ini. Apalagi, korban MS adalah salah satu saksi kunci dari kasus tersebut. Adanya kejadian penganiayaan ini pihaknya mendesak penegak hukum dan Pemerintah Daerah turun tangan merespon untuk memberikan perlindungan terhadap korban penganiayaan.
Korban merupakan perempuan yang berani menyuarakan kasus kekerasan seksual di Jombang agar segera diusut hingga tuntas sehingga dia layak mendapatkan perlindungan. "Kami sudah dengan dinas terkait bagaimana korban ini aman," terangnya. Kasus kekerasan terhadap aktivis perempuan sekaligus mahasiswi yang dilakukan oleh segerombolan orang kini dalam penyelidikan oleh Satreskrim Polres Mojokerto.
Kasat Reskrim Polres Jombang, AKP Teguh Setiawan mengatakan, pihaknya telah menerima pelimpahan berkas laporan dari Polsek Ploso terkait kasus penganiayaan terhadap aktivis perempuan tersebut. "Sudah kami terima sekarang masih pendalaman pemeriksaan tambahan korban karena baru kemarin dilimpahkan ke Polres," ujarnya saat dikonfirmasi SURYAMALANG.COM melalui seluler, Selasa (11/5/2021). Teguh mengklarifikasi saat laporan korban di Polres Jombang justru diarahkan ke Polsek Ploso.
Dia menerangkan korban saat itu tidak membawa bukti bukti karena itulah yang bersangkutan diminta membawa kardus Handphone dan kartu identitas KTP. Ini sebagai bukti kepemilikan handphone yang dirampas oleh pelaku penganiayaan. "Akhirnya yang bersangkutan melapor ke Polsek Ploso dan diterima. Namun karena Polsek Ploso tidak ada kewenangan menyidik maka kami tarik dan dilimpahkan kemarin Senin siang," jelasnya.
Dia menjelaskan seseorang mengembalikan Handphone milik korban di Polsek Ploso. Pihaknya belum dapat memastikan terkait motif perampasan Handphone dan penganiayaan terhadap korban aktivis perempuan tersebut. "Jadi setelah diambil itu tidak lama kemudian diserahkan ke Polsek sama pelakunya dan Handphone yang bersangkutan diamankan sebagai barang bukti," terangnya.
Berdasarkan pengakuan korban bahwa yang bersangkutan dibenturkan ke tembok oleh pelaku. Selain itu, pihaknya juga tidak berani menyimpulkan pelaku adalah orang suruhan yang berkaitan dengan pondok di Ploso. "Karena itu pendalaman kasus ini perlu saksi dan yang bersangkutan dihadirkan untuk pemeriksaan," pungkasnya